Tugas Makalah Filsafat Ilmu "Hakikat Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Ilmu"
Hakikat
Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Ilmu
Tentang
Nilai Kegunaan Ilmu
Tugas Mata Kuliah “Filsafat
Ilmu”
Dosen Pengampu
Dr. Affiful Ikhwan, M.Pd.I
Disusun oleh
1. Islam Daroini
2. Ana Maulida Sabila
3. Hanif Ihksani
PROGRAM PASCASARJANA PRODI PAI
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PONOROGO
2017
BAB
1
PEMBAHASAN
A.
PERSPEKTIF ONTOLOGI NILAI KEGUNAAN
ILMU
1. Pengertian Ontologi
Kata ontologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Ontos” yang berarti “berada” (yang
ada), dan kata logia yaitu pengetahuan. Maka secara istilah, Ontologi adalah ilmu
hakikat yan menyelidiki ala nyata ini dan bagaimana keadaan sebenarnya. Dengan kata lain Ontologi adalah ilmu yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada.
Ontologi adalah
bagian filsafat yang paling mendasar, ia membahas secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang ada dalam setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas.
Bidang kajian
ontologi berkaitan dengan metafisika yaitu hakekat, oleh karenanya hakikat ini
tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak berbentuk, berwaktu dan
bertempat. Dengan jalan mempelajari hakikat, kita dapat memperoleh pengetahuan
dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakikat ilmu itu.
2. Hakikat ontologi
Ontologi adalah
ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality
yang berbentuk jasmani maupun rohani. Ontologi
juga berarti teori atau studi tentang wujud sepeti karakteristik dasar
dari seluruh realitas. Ontologi bersinonim dengan metafisika, yaitu studi
filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda
untuk menentukan arti, struktur dan prinsip benda tersebut.
Menurut
suriasumantri, ontology membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori
tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
1.
Apakah objek ilmu yang akan ditelaah?
2.
Bagaimana wujud hakiki tentang objek tersebut?
3.
Bagaimana hubungan antara objek tersebut dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Dalam pemahaman
ontologi dapat dikemukakan pandangan-pandangan pokok pemikiran antara lain
a.
Monoisme
Paham ini
menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin ada dua. Baik yang asal berupa materi ataupun berupa
rohani.
b.
Dualisme
Aliran ini
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Dualism mengakui bahwa realitas
terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya
tidak kelihatan secara fisis.
c.
Pluralisme
Paham ini
berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk ini
semuanya nyata.
d.
Agnotisme
Paham ini
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani.
3. Dasar Ontologi ilmu
Secara
ontologis, ilmu membatasi diri terhadap
masalah yang dikajinya, yaitu hanya terfokus pada masalah yang terdapat
pada ruang jangkauan pengalaman manusia, istilah yang dipakai untuk menunjukan
sifat kejadian yang terjangkau fitrah pengalaman manusia disebut dengan dunia
empiris.
Ilmu
mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapanya mempunyai
manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek yang ditelaahnya maka ilmu
dapat disebut sebagai pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu
cirri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
Ilmu bertujuan
untuk mengerti mengapa suatu hal terjadi. Dengan kata lain, proses keilmuan
bertujuan untuk mencari hakikat objek empiris tertentu, untuk menemukan sari
berupa ilmu pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membeuat
beberapa andaian (asumsi) mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini diperlukan
sebagai arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan
baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakanya.
B.
PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI NILAI KEGUNAAN ILMU
1.
Definisi Epistemologi
Dalam disiplin
filsafat ilmu, masalah pengetahuan berkisar pada tiga hal, yaitu aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek pertama membicarakan tentang
hakikat ilmu yang mencakup, esensi, substansi, termasuk ke dalamnya beberapa
cabang. Aspek kedua berkaitan dengan bagaimana cara memperoleh ilmu. Aspek
ketiga berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat pada ilmu pengetahuan.[1]
Kata epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti perkataan, pikiran, ilmu. Maka secara harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu pada kedudukan
setepatnya.[2]
Kajian pokok epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar
pengetahuan. Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan, yaitu apakah
pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan, apakah
pengetahuan itu merupakan kebenaran atau dugaan.[3]
Menurut Horald H. Titus, dkk, secara
global terdapat 3 persoalan pokok dalam bidang epistemologi, yaitu :
a. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana
pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui?
b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia
yang riil diluar akal, dan kalau ada, dapatkah kita mengetahui?
c. Apakah pengetahuan kita benar (valid)?
Bagaimana kita membedakan kebenaran dan kekeliruan?[4]
2. Metode untuk
Memperoleh Pengetahuan
1.
Empirisme
Empirisme merupakan suatu doktrim filsafat yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan
peranan akal.[5]
John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu dilahirkan
akalnya merupakan catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku
catatan itulah tercatat pengalaman indriawi. Menurut Locke, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide
yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-tama dan
sederhana.[6]
Ia memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil
penginderaan. Ini berarti betapapun rumitnya pengetahuan dapat dilacak kembali
melalui pengalaman indrawi yang pertama. Apa yang tidak dapat dan tidak perlu dilacak kembali
bukanlah pengetahuan, atau setidaknya bukan pengetahuan yang faktual.[7]
2.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah
pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai
kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan menekankan kekuatan manusia
untuk berpikir dan apa yang diberikan oleh akal kepada pengetahuan, seorang
rasionalis, pada hakekatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak
dapat memberikan kita pertimbangan yang koheren dan universal.[8]
Rasionalis menganggap bahwa
kebenaran terletak pada akal budi dan pengalaman berfungsi sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Maka, kebenaran dan kesesatan terletak pada akal,
bukan pada suatu barang seperti pengalaman.[9]
3.
Fenomenalisme
Fenomenalisme adalah metode dalam
memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan menggali pengalaman dari dirinya
sendiri. Immanuel Kant, membuat uraian tentang pengalaman sesuatu dalam
dirinya, dengan merangsang alat indrawi kita dan diterima oleh akal kita dalam
bentuk pengalaman dan disusun sistematis melalui penalaran.Karena itu, kita
tidak pernah memiliki pengetahuan tentang sesuatu seperti keadaannya sendiri,
melainkan apa yang nampak pada kita, artinya pengetahuan tentang gejala
(phenomenon).[10]
4. Intuisionisme
Intuisionisme adalah cara memperoleh
ilmu pengetahuan melalui intuisi untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah Henry Bergson. Salah satu yang
menarik, adalah adanya pengalaman di samping pengalaman yang dihayati indra.[11]
Intuisionisme tidak
mengingkari nilai pengalaman indrawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan dalam beberapa
bentuk lebih lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari nisbi yang
sebagian saja diberikan analitis.[12]
5.
Kritisisme Intuisionisme,
Fenomenalisme, Rasionalisme
Kritisisme
dipelopori oleh Immanuel Kant. Dalam menyingkap pengetahuan, aliran ini memulai
dengan pertanyaan “Apa yang sesuangguhnya dapat kita ketahui? Dan bagaimana
caranya?”. Pertama-tama, aliran ini menganut paham bahwa apapun yang kita
saksikan dalam kehidupan, realitas tersebut selalu berada dalam ruang dan
waktu. Selanjutnya, setiap manusia dalam mencandra realitas selalu memprosesnya
melalui sensasi menuju persepsi lalu ke konsepsi sehingga menjadi pengetahuan.[13]
Bagi kritisime, ada korelasi antara realitas
empiris dan proses penalaran dalam mengonstruksi pengetahuan. Dengan inilah,
aliran ini mengkritik empirisme yang memutlakkan pengalaman empiris dan
rasionalisme yang memutlakkan rasio. Sebab pengetahuan pada hakekatnya adalah
kerja nalar dan realitas empiris. Tepat pada titik ini pula, kritisisme
dianggap dapat mendamaikan keduanya.
6. Metode Ilmiah
Metode Ilmiah
berusaha menggabungkan antara pengalaman empiris (observasi) dan akal dalam
memperoleh pengetahuan. Menurut Harold H. Titus, dkk, terdapat enam langkah
untuk memperoleh pengetahuan secara rinci, yaitu : (1) keinsyafan tentang
adanya problema, (2) data yang relevan dan tersedia dikumpulkan, (3) data
ditertibkan, (4) hipotesis dibentuk, (5) deduksi dapat ditarik dari hipotesis,
(6) verifikasi.
C.
PRESPEKTIF AKSIOLOGI TENTANG NILAI KEGUNAAN ILMU
1.
Pengertian aksiologi
Kata aksiologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu dari kata “Axsios” berarti nilai, dan “logos” artinya ilmu atau teori. Jadi
aksiologi memiliki arti teori tentang nilai. Teori yang membahas tentang
hakikat nilai, berdasarkan penjelasan tersebut aksiologi disebut juga dengan “Filsafat Nilai”. Persoalan tentang nilai
apabila dibahas secara filsafat, maka
akan lebih memeperhatikan
persoalan tentang “sumber nilai”[14].
Aksiologi bisa diartikan sebagai studi tentang hakikat
tertinggi, realitas dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan
kebenaran Dengan demikian aksiologi adalah studi
tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika, dengan kata lain
apakah yang baik atau bagus itu (Sarwan, 1984.22). Aksiologi senantiasa diberi
pengertian umum sebagai filosofis tentang nilai yaitu studi terhadap watak
dasar nilai-nilai atau pertimbangan dan
argumen-argumen filosofis berkenaan dengan nilai-nilai.[15]
Dalam Encyclopedia of
Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and
valuation :
a.
Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih
sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih
luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah
nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.Nilai juga dipakai sebagai kata kerja
dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan
yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai khusus seperti ekonmi, estetika,
etika, filsafat agamadan spistimologi. Epistimologi
berkaitan dengan masalah kebenaran etika bersangkutan dengan masalah kabaikan
(kesusilaan), dan estetika berkaitan dengan msalah keindahan. Aksiologi juga
menyeledikiberbagai peryataan-peryataan tenang etika dan estetika. Ilmu yang
membahas hal tersebut adalah filsafat nilai (Yulia Siska, 2015:18-20)[16]
Dengan
Aksiologi dunia filsafat melakukan apa yang disebut investigasi secara rasional
terhadap hubungan antara ilmu
dan eksistensi manusia berdasarkan sudut pandang etis. Aksiologi terus bergerak, sejauhmana hubungan antara ilmu dengan
eksistensi manusia tanpa merubah nilai etis.
2. Aksiologi nilai kegunaan ilmu
Berbicara tentang ilmu makan akan ada hubugan
yang erat dengan etika, bebas atau tidaknya ilmu itu selalu menjadi masalah
yang rumit dan tidak hanya membutuhkan
jawaban iya atau tidak. Sebenarnya sejak
saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif yang berbeda.
Sebaliknya golongan
kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis
keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral.golongan
kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni:
a. Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuan.
b. Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.
c. Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada
kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.
Aksiologi memang selalu terhubung dengan masalah
nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas
nalai, artinya pada
tahap-tahap tertentu ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama[17].
Tidak dipungkiri bahwa ilmu
telah banyak merubah dunia dalam memberantas berbagai masalah termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan
berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu
berjalan demikian: Ilmu selalu menjadi berkah dan
penyelamat bagi manusia.
Menilai dari sebuah filsafat dalam prespektif
aksiologi yaitu dengan melihat pada apakah suatu nilai bersifat objektif atau bersifat subjektif. Kenapa bisa
dikatakan objektif, jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan
pada subjek yang melakukan penilaian[18].
BAB II
KESIMPULAN
- Hakikat obyek ilmu (onotologi) terdiri dari objek materi dari berbagai jenis-jenis dan sifat-sifat ilmu pengetahuan dan objek forma yang terdiri dari sudut pandang daro objek itu
- Epistimologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode: Empirisme Kritisisme, Intuisionisme, Fenomenalisme, Rasionalisme dan Metode Ilmiah
- aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Idri.
Epistemologi Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadits, dan Ilmu Hukum Islam,
Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015.
Aprulkhan.Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016
Latif,
Mukhtar. Orientasi ke Arah Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2014, p. 199
Monteiro,
M. Josef. Pendidikan Kewarganegaraan, perjuangan membentuk kader bangsa.
Yogyakarta: Budi Utama, 2015.
Sudibyo, Lies Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Budi Utama,
2014.
Kanto,
Mukhlis dan Rappana, Patta. Filsafat manajemen.Media Perkasa
Bagus,
I Gusti. Filsafat Ilmu dan Logika.
2013
Bahrum,
2013. “Ontologi, Apistimologi dan Aksiologi”. Dalam Sulesna Vol
8, No. 2, Makasar
[14] Josef
M. Monteiro, Pendidikan Kewarganegaraan, perjuangan membentuk kader bangsa.
Budi Utama, Yogyakarta, 2015, Hlm 24.
[15] Lies
Sudibyo, Bambang Triyanto dan Meidawati Suswandari, Filsafat Ilmu. Budi
Utama, Yogyakarta, 2014, Hlm 76.
[16] Mukhlis
Kanto dan Patta Rappana, Filsafat manajemen.media perkasa
[17] I Gusti
rai Bagus Utama, Filsafat Ilmu dan Logika. 2013, Hlm 11.
[18] Bahrum,
Ontologi, Apistimologi dan Aksiologi.Vol 8, No. 2, 2013
Komentar
Posting Komentar